Sabtu, 18 Desember 2010

Hukum Mengucapkan "Selamat Hari Raya" Kepada Non-Muslim

Hukum Mengucapkan "Selamat Hari Raya" Kepada Non-Muslim
Menyikapi Perayaan Natal Oleh: Syaikh Muhammad ibnu Sholih Utsaimin -rahimahullah- Pertanyaan: Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Marry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru, dst). Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita? Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat dimana mereka merayakannya? Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun? Akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, ataupun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini? Jawaban: Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma'. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya "Ahkamu Ahlidz-dzimmah", beliau berkata: "Bahwa mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah Haram, secara sepakat. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, "Selamat Hari Raya", atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, jika orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci daripada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid'ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan ALLAH." –Akhir dari perkataan Syaikh Ibnul Qoyyim rahimahullah– (Syaikh Utsaimin melanjutkan) Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk meridhai syi'ar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena ALLAH Ta'ala tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana ALLAH Ta'ala berfirman, Artinya: "Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu." . Dan Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, Artinya: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai ALLAH, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid'ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syari'atnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. ALLAH berfirman tentang Islam: Artinya: "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya HARAM. Karena hal ini lebih buruk daripada hanya sekedar memberi selamat kepada mereka, di mana di dalamnya akan menyebabkan berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur dari bekerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu `alaihi wasallam, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka". Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha' Shirathal Mustaqiim, "Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada mereka bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yang berfikiran lemah". –Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah-. Wallohu a`lam

Senin, 06 Desember 2010

Manfaat dan Keutamaan Puasa Sunnah Muharram


Manfaat dan Keutamaan Puasa Sunnah Muharram
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Keutamaan Puasa Sunnah Muharram.
Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua
Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)
Hadits yang Ketiga
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu.
Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)
CATATAN KAKI:
[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)
Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:
“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”
Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.
“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.

Sabtu, 04 Desember 2010

BAHASA KRAMA

  Untuk mendownload file dibawah ini klik Disini

Tembung Ngoko - Krama Madya - Krama Inggil
Tembung Liyane Aksara A - D



No.
Ngoko
Kråma Madyå
Kråmå Inggil

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
A
abang
adhi
adêg
adóh
adús
ajang
aku
ambúng
amít
anak
anak-anak
anggo
aran
arêp
(pêm)-barêp
asu
awèh
ayo
é

abrít
adhi
ngadêg
têbíh
adús
ajang
kulå
ambúng
amít
yogå
anak-anak
anggé
nåmå
ajêng, badhé
pêmbajêng
sêgawon
nyukani
månggå
ník

abrít
rayi
jumênêng
tebíh
siram
ambêng
kawulå,dalêm
aras
kulånuwun,
putrå
peputrå
agêm
asmå
kêrså
pêmbajêng
sêgawon
maringi
sumanggå
pún

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
B
bali
bantal
banyu
bapak
batúr
bêbêd
bébék
bênêr
bêras
biyèn
bojo
borèh
buri
buwang
bêbuwang
buyar

mantúk
bantal
toyå
bapak
réncang
bêbêd
kambangan
lêrês
uwós
riyín
sémah
borèh
wingkíng
bucal
bêbucal
rampúng

kúndúr
kajang sirah
toyå
råmå
abdi
nyamping kambangan
kasinggihan
uwós
rumiyin
garwå
kónyóh
pêngkêran
kêndhang
bóbótan
rampúng

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
C
caritå
caturan
cawis
cêkêl
cèlèng
céwok
clathu
cucúl
cukúr
cundhúk

cariyós
wicantên
cawís
cêpêng
andhapan
cawík
wicantên
cucúl
cukúr
cundhúk

cariyós
ngendikå
caós
astå
andhapan
cawík
ngvndikå
lukar
paras, pangkas sangsangan

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10. 11.
12.
D
dadi
dalan
dandan
dêlêng
dhéwé
dhuwít
dudu
doyan
dolan
dulang
durúng
duwé

dadós
radinan
dandós
ningali
piyambak
yatrå
sanès
purún
dolan
ndulang
dêrêng
gadhah

dadós
margi
busånå
mriksani
piyambak
artå
sanès
kerså
amêng-amêng
ndhahari
dèrèng
kagungan



           Tembúng Ngoko - Kråmå Mådyå - Kråmå Inggil
           Tembung liyane Aksara E - K


No.
Ngoko
Kråmå Madyå
Kråmå Inggil

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
E
élíng
êmbah
êmbuh
êndhêm
êndi
êntèni
ênyang
êpèk
ésuk

élíng
êmbah
kirangan
mêndhêm
pundi
êntosi
awís
pêndhêt
énjíng

émút, ångêt
éyang
ngapuntên
wuni
pundi
rantosi
awís
pundhút
énjíng

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
I
ikêt
iki
ilang
imbúh
inêp
irêng
ngiringakên
iså
isín
iwak
iyå

ikêt
niki
ical
imbêt
nyipêng
cêmêng
ngiringakên
sagêd
isín
ulam
inggíh

dêstar
punikå
ical
tandúk
nyaré
cêmêng
ndhèrèkakèn
sagêd
lingsêm
ulam
sêndikå

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
J
jågå
jago
jalúk
jamu
jaran
jarít
jenat
jerúk
jisím
jogèd
jungkat
jupúk

jagi
sawúng
nêdi
jampi
jaran
sinjang
jênat
jêram
jisím
jogèd
sêrat
pêndhêt

rêkså
sawúng
nyuwún
lólóh
titihan
nyamping
swargi
jêram
layón
bêkså
pêthat
pundhút

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
K
kabèh
kåcåmåtå
kagèt
kakang
kalúng
kanggo
kåndhå
kathók
katúr
kayu
kêbo
kêlambi
kêlúd
kêmbang
kêmbên
kêmúl
kêrís
kijíng
kirå
kóngkón
kowé
kramas
kråså
krungu
dikubúr
kuburan
kurang
kuwat
kuwi

sêdåyå
kåcåmripat
kagèt
kakang
kalúng
kanggé
sanjang
kathók
katúr
kajêng
maéså
rasukan
kêlud
sêkar
kêmbên
kêmul
dhuwúng
kijíng
kintên
kèngkèn
sampéyan
kramas
kraós
kêpirêng
dipêtak
kuburan
kirang
kiyat
niku

sêdantên
kåcåtingal
kêjót
råkå
sangsangan
kagêm
ngêndika
lancingan
konjúk
kajêng
maéså
agêman
samparan
sêkar
kêsêmêkan
singêp
wangkingan
sêkaran
kintên
utús
pênjênêngan
jamas
kraós
midhangêt
disarèkaké
pasaréyan
kirang
kiyat
punikå
       


Tembúng Ngoko - Kråmå Mådyå - Kråmå Inggil
Tembung Liyane Aksara L - P


 
No.
Ngoko
Kråmå Madyå
Kråmå Inggil

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09. 10.
11.
12.
13.
14.
L
labúh
lagi
laír
lali
lanang
lårå
larang
layang
lemah
lêmu
liwat
lungå
lêlungan
lunggúh

labêt
sawêg
lair
supé
jalêr
sakít
awís
sêrat
siti
lêma
langkúng
késah
kêkésahan
lênggah

labêt
nêmbé
miyós
kalimêngan
kakúng
gêrah, gêring
awís
nawålå
siti
lêmå
langkúng
tindak
pêparan
pinarak

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
M
måcå
macan
malíng
mambu
manak
mangan
mangkat
marang
mati
mayít
mêlèk
mèlu
mènèhi
mênjangan
menyang
mêtu
mikir
minggat
mlaku
mudhún
mulang
mulíh
muni
murah

måcå
macan
maling
mambêt
nglairakên
nêdhå
bidhal
dhatêng
pêjah
mayít
mêlèk
tumút
nyukani
sangsam
dhatêng
mêdal
manah
minggat
mlampah
mandhap
mucal
mantuk
mungêl
mirah

maós
simó
pandúng
nggåndå
mbabar
dhahar
tindak, jengkar
dhatêng
sedå, surúd
layón
wungu
ndhèrèk
maringi, nyaósi
sangsam
dhatêng
miyós
nggalíh
lólós
tindak
mandhap
mucal
kúndúr
mungêl
mirah

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
N
nandúr
nangís
nêpsu
nóm
nunggang
ngadêg
ngaggo
ngarêp
ngaso
ngêlu
ngèngèr
ngêntèni
ngimpi
ngirím
ngisíng
ngombé
ngóngkón
nguyúh
nyambút gawé
nyêkêl
nyilíh
nyrêngêni
nyritani

nanêm
nangís, mular
nêpsu
nèm
numpak
ngadêg
nganggé
ngajêng
kèndêl
ngêlu
ngèngèr
ngêntosi
ngimpi
ngintun
bebanyu
nginum
ngèngkèn
toyan
nyambut damêl
nyêpêng
nyambut
nyrêngêni
nyriyosi

nanêm
muwún
duka
timúr
nitíh
jumênêng
ngagêm
ngarså
kèndêl
puyêng
ngabdi
ngrantós
nyupêna
ngintún
bóbótan
ngunjúk
ngutús ngaturi
turas
ngastå damêl
ngastå
ngampíl
ndukani
nyriyósi

01.
02.
03.
04.
05.
O
ómbó
obat
olèh
ómpóng
ora

wiyar
jampi
angsal
ómpóng
bótên

wiyar
usådå
pikantuk, kêparêng
dhaút
bótên

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
P
pådhå
padusan
paidón
panas
pangan
pangilón
paturón
payúng
peéan
pikír
pilís
pitík
prau
pupak
pupúr
putíh
putu

sami
padusan
paidón
bêntèr
têdhan
pangilón
patilêman
payúng
pétan
manah
pilís
ayam
kapal
pupak
pupúr
pêthak
putu

sami
pasiraman
kêcohan
bêntèr
dhaharan
paningalan
pasaréeyan
sóngsóng
ulík
penggalíh
blónyóh
ayam
baitå
dhaút
tasík
pêthak
wayah

Tembúng Ngoko - Kråmå Mådyå - Kråmå Inggil
Tembung liyane Aksara R - Y


 
No.
Ngoko
Kråmå Madyå
Kråmå Inggil

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
R
rabi
rådå
råså
råtå
raúp
rekåså
rupå
rusak

émah êmah
radi
raós
radin
raúp
rêkaos
warni
risak

kråmå
radi
raós
radin
suryan
rekaós
warni
risak

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
S
sabúk
sadêla
sadulúr
salín
sandhangan
sapi
sapíh
sapu
sêga
sêgårå
selír
sendhók
silíh
slamêt
suwé

sabúk
sêkêdhap
sadhèrèk
gantós
panganggé
lêmbu
sapíh
sapu
sêkul
sêgantên
selír
séndhok
sambút
wilujêng
dangu

pêningsêt
sêkêdhap
sadhèrèk
gantós
pangagêm
lêmbu
pêgêng
samparan
sêkul
sêgantên
ampil, ampéyan
lantaran
ampíl
sugêng
dangu

01.
02.
03.
04.
05.
06.
07.
08.
09.
10. 11.
12.
13.
14.
15.
T
takón
tandang gawé
tåndhå tangan
tandúr
tangi
tapihan
têka
têkên
têtak, sunat
tiba
tilík
tuku
turah
turu
turún

takèn
nyambut damêl
tåndhå tangan
tanêm
tangi
tapihan
dugi, dhatêng
têkên
têtak, sunat
dhawah
tuwi
tumbas
tirah
tilêm
turún

ndangu
ngastå damel
tapak astå
tanem
wungu
nyampingan
rawúh
lantaran
supít
dhawah
tuwi
mundhut
tirah
saré, néndrå
têdhak

                

Kamis, 02 Desember 2010

Wanita

1. Wanita adalah belahan separo (yang sama) dengan pria. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

2. Jihadnya kaum wanita ialah haji dan umroh. (HR. Ahmad)

3. Diperlihatkan kepadaku neraka kebanyakan penghuninya kaum wanita karena kekufuran mereka. Para sahabat bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Nabi Saw menjawab, "Mereka mengkufuri pergaulan dan kebajikan (kebaikan). Apabila kamu berbuat ihsan kepada seorang dari mereka sepanjang umur lalu dia mengalami sesuatu yang tidak menyenangkannya dia akan berkata, "Kamu belum pernah berbuat baik kepadaku." (HR. Bukhari)

4. Wahai kaum wanita, aku tidak melihat dari suatu kaum (orang-orang) yang lemah akal (pemikiran) dan lemah agama lebih menghilangkan hati orang-orang yang sehat akal dan benaknya dari pada kamu (kaum wanita). Aku telah menyaksikan neraka yang penghuninya paling banyak kaum wanita. Maka dekatkanlah dirimu kepada Allah sedapat mungkin. (HR. Bukhari)

5. Apabila seorang dari kamu tertarik melihat seorang perempuan dan terkesan dalam hatinya, maka hendaklah menggauli isterinya sendiri karena hal itu akan meredam gejolak dan gangguan dalam dirinya. (HR. Muslim)

6. Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan (bukan mahram) karena yang ketiganya adalah syetan. (HR. Abu Dawud)

7. Barangsiapa berjabatan tangan dengan perempuan yang bukan mahramnya maka dia dimurkai Allah Azza wajalla. (HR.Ibnu Baabawih)

8. Janganlah laki-laki berduaan dengan perempuan (lain) kecuali perempuan itu didampingi mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan (musafir) kecuali didampingi mahramnya. (HR. Muslim)

9. Rasulullah Saw melarang kami memasuki rumah wanita yang suaminya sedang tidak ada di rumah (sedang ke luar atau bepergian). (HR. Ahmad)

10. Janganlah seorang lelaki bermalam di rumah seorang janda kecuali sudah dinikahinya atau dia mahramnya. (HR. Muslim)

11. Seorang wanita yang memakai minyak wangi lalu lewat di tengah-tengah kaum (laki-laki) dengan maksud agar mereka menghirup bau harumnya maka wanita itu adalah pelacur. (HR. An-Nasaa'i)

12. Tiada aku meninggalkan suatu fitnah sesudahku lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada godaan wanita. (HR. Bukhari dan Muslim)

13. Tiap menjelang pagi hari dua malaikat berseru: "Celaka laki-laki dari godaan wanita dan celaka wanita dari godaan laki-laki." (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim)

14. Wanita adalah alat perangkap (penjaring) setan. (HR. Asysyihaab).

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Amal Perbuatan

1. Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. (HR. Ath-Thabrani)
2. Sesungguhnya jika Allah Ta'ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba maka dia dikaryakannya. Para sahabat lalu bertanya tentang sabda Nabi Saw tersebut, "Bagaimana dikaryakannya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Diberinya taufiq untuk beramal sholeh sebelum wafatnya." (Mashabih Assunnah)
3. Barangsiapa melakukan amal perbuatan yang bukan atas perintah kami maka itu tertolak. (HR. Muslim)
Penjelasan:
Yang dimaksud adalah amal perbuatan yang berhubungan dengan pelaksanaan peribadatan.

4. Seorang yang melakukan perbuatan di dalam batu besar yang tidak ada pintu maupun lubang anginnya, pasti akan diketahui manusia apapun yang terjadi (mau tidak mau). (HR. Al Hakim)
5. Seorang melakukan amalan-amalan ahli surga sebagaimana tampak bagi orang-orang tetapi sesungguhnya dia termasuk penghuni neraka, dan seorang lagi melakukan amalan-amalan ahli neraka sebagaimana disaksikan orang-orang tetapi sebenarnya dia tergolong penghuni surga. (HR. Bukhari)
6. Dunia dihuni empat ragam manusia. Pertama, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan dan ilmu pengetahuan lalu bertakwa kepada Robbnya, menyantuni sanak-keluarganya dan melakukan apa yang diwajibkan Allah atasnya maka dia berkedudukan paling mulia. Kedua, seorang yang diberi Allah ilmu pengetahuan saja, tidak diberi harta, tetapi dia tetap berniat untuk bersungguh-sungguh. Sebenarnya jika memperoleh harta dia juga akan berbuat seperti yang dilakukan rekannya (kelompok yang pertama). Maka pahala mereka berdua ini adalah (kelompok pertama dan kedua) sama. Ketiga, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan tetapi tidak diberi ilmu pengetahuan. Dia membelanjakan hartanya dengan berhamburan (foya-foya) tanpa ilmu (kebijaksanaan). Ia juga tidak bertakwa kepada Allah, tidak menyantuni keluarga dekatnya, dan tidak memperdulikan hak Allah. Maka dia berkedudukan paling jahat dan keji. Keempat, seorang hamba yang tidak memperoleh rezeki harta maupun ilmu pengetahuan dari Allah lalu dia berkata seandainya aku memiliki harta kekayaan maka aku akan melakukan seperti layaknya orang-orang yang menghamburkan uang, serampangan dan membabi-buta (kelompok yang ketiga), maka timbangan keduanya sama. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
7. Seorang yang kurang amalan-amalannya maka Allah akan menimpanya dengan kegelisahan dan kesedihan. (HR. Ahmad)
8. Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu?" Nabi Saw menjawab, "Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya." Dia bertanya lagi, "Dan yang bagaimana orang yang paling buruk (jahat)?" Nabi Saw menjawab, "Adalah orang yang panjang usianya dan jelek amal perbuatannya." (HR. Ath-Thabrani dan Abu Na'im)

9. Amalan-amalan yang paling disukai Allah ialah yang lestari (langgeng atau berkesinambungan) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)

10. Jangan mengagumi amal perbuatan sampai ia menyelesaikan yang terakhir. (HR. Ath-Thabrani dan Al Bazzar)

11. Lakukan apa yang mampu kamu amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sehingga kamu sendiri jemu. (HR. Bukhari)

12. Amalkan semua yang diwajibkan (fardhu) Allah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bertakwa. (Ath-Thahawi)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press